Seringkali
kita terheran-heran ketika seseorang yang kebetulan kita kenal dan
sebelumnya tidak memiliki gelar apa-apa tiba-tiba sudah menyandang gelar
setingkat Magister atau Doktor. Lebih heran lagi jika hal itu terjadi
pada individu yang tinggal di kota dimana tidak ada Universitas resmi
yang menyelenggarakan program setingkat S2 (magister) atau S3 (doktor).
Komentar yang keluar dari sebagian orang adalah: kapan kuliahnya? Kok
gampang amat dapat gelar doktor? Tesisnya tentang apa ya? Kok bisa dia
dapat gelar itu padahal dia khan cuma tamatan SMU?
Komentar-komentar tersebut tentu amat wajar dan
beralasan mengingat bahwa untuk meraih gelar S2 (magister) atau S3
(doktor) sungguhan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Sebagai contoh:
untuk lulus seleksi dan masuk ke jenjang pendidikan di tingkat S2
memerlukan berbagai persyaratan, seperti jumlah IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif) ditingkat S1 harus mencapai 3,00 (dgn score tertinggi: 4,00),
Score TOEFL harus mencapai 500 atau lebih, Score Test Potensi Akademik
(TPA) harus mencapai 550 ke atas, dsb. Lulus seleksi juga belum menjamin
bahwa seseorang akan bisa meraih gelar yang diingingkannya karena ia
masih harus mengikuti kuliah dengan jumlah SKS tertentu, membuat
makalah, melakukan penelitian dan membuat tesis. Semua ini membutuhkan
kerja keras dan ketekunan yang menyita waktu bertahun-tahun. Mereka yang
pernah melewati proses ini pasti tahu apa artinya pengorbanan yang
harus dilakukan untuk memperoleh sebuah gelar akademik yang pantas.
Membaca berbagai buku teori, melakukan penelitian, menguji hipotesis,
mempresentasikan karya ilmiah di depan dosen-dosen penguji merupakan
beberapa contoh kegiatan dalam proses pendidikan yang panjang dan
melelahkan yang harus dilalui para penuntut ilmu. Rata-rata waktu yang
dibutuhkan untuk jenjang pendidikan S2 adalah antara 3 s/d 5 tahun,
sementara S3 di luar negeri adalah 4 s/d 8 tahun, bahkan ada juga yang
baru berhasil menyelesaikan kuliah setelah menjalaninya selama 10 tahun.
Lamanya waktu yang harus ditempuh tersebut , bagi orang dewasa apalagi
jika kuliah sambil bekerja, bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karena
itu tidak jarang bahwa beberapa mahasiswa tidak berhasil menyelesaikan
kuliahnya.
Kondisi tersebut amat berbeda dengan program S2 atau
S3 yang ditawarkan banyak "lembaga pendidikan" model "instant" yang
membuka program-program di hotel-hotel berbintang atau bahkan kuliah di
tempat kerja (kantor) peserta. Untuk masuk ke program yang ditawarkan,
peserta hanya cukup mengisi formulir, memilih gelar yang diinginkan,
lalu membayar biaya jutaan rupiah( contoh: Rp 5 juta s/d Rp 10 Juta
untuk gelar MM, MSc, MBA, BBA dan Rp 20 juta s/d 30 juta untuk gelar
Doktor atau Profesor) dan selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi dari
pihak penyelenggara kapan ada "pertemuan" dan jadwal wisuda. Mahasiswa
yang mengikuti program ini cukup mengikuti beberapa kali perkuliahan
atau menyelesaikan beberapa modul yang biasanya dikirim ke rumah,
menyetor sejumlah uang , mengikuti widusa (terkadang di luar negeri)
lalu memperoleh ijazah dan segera menyandang gelar. Gampang dan cepat,
ibarat membuat Mie Instant. Praktek seperti inilah yang sekarang kita
kenal dengan istilah "jual beli gelar". Jual beli gelar ini nampaknya
tidak pernah surut bahkan semakin banyak peminatnya. Gelar kehormatan
seperti Doktor Honouris Causa yang seharusnya hanya diberikan kepada
seseorang yang telah berjasa dan memiliki prestasi luar biasa di suatu
bidang tertentu (terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan) pun tidak
luput dari praktek jual beli ini. Oleh karena itu tidaklah mengherankan
jika suatu saat kita menemukan ternyata salah seorang rekan atau
kenalan kita tiba-tiba sudah menyandang gelar doktor tersebut, sementara
kita tahu dengan pasti orang tersebut tidak memiliki prestasi luar
biasa di masa sekolah atau pun di masyarakat.
Beberapa pertanyaan yang perlu kita kemukakan untuk
menyikapi fenomena jual beli gelar ini diantaranya adalah faktor apakah
yang menyebabkan individu berlomba-lomba untuk memperoleh gelar
sampai-sampai harus menggunakan jalan pintas dengan cara membeli gelar
tersebut. Lalu bagaimana sebenarnya karakteristik para pembeli gelar
tersebut jika dilihat dari kacamata psikologi. Tidakkah ada rasa malu
dan tenggangrasa dari para pembeli gelar tersebut terhadap para individu
yang benar-benar memperoleh gelar dengan cara menuntut ilmu dan
mengikuti kaidah keilmuan yang berlaku? Apakah mereka mengalami suatu
gangguan kepribadian? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jawab
dalam artikel ini.
Penyebab
Gelar adalah Lambang Status
Di sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung masih memiliki pola pikir feodalistik, gelar (degree)
merupakan suatu kebanggaan luarbiasa dan sekaligus lambang status
sosial pemiliknya di dalam masyarakat. Tidaklah mengherankan jika
seseorang yang telah berhasil menyelesaikan studi dan memperoleh gelar
akan disambut oleh pihak keluarga bagaikan pahlawan yang baru kembali
dari medan perang. Serangkaian upacara dan selamatan/syukuran dengan
mengundang relasi atau bahkan orang sekampung dilakukan untuk menyambut
sang sarjana/magister/doktor tersebut. Tidak sebatas itu saja, ucapan
selamat pun mengalir dan dipamerkan di koran-koran atau majalah.
Tidak ada yang salah dengan tradisi
tersebut diatas, asalkan memang sang penerima gelar benar-benar
memperolehnya dengan cara yang layak. Sambutan maupun ucapan selamat
merupakan suatu hal yang wajar dan pantas diterima sebab untuk
memperoleh gelar yang asli memang ibarat memenangkan pertempuran.
Bayangkan saja, berapa banyak peserta program S2 atau S3 yang harus
berpisah dengan anggota keluarganya, tak jarang ia harus menggadaikan
harta benda miliknya dan berjuang seorang diri demi memperoleh gelar
dari sebuah universitas ternama di dalam maupun di luar negeri. Oleh
karena itu sangatlah wajar jika mereka menganggap bahwa gelar yang
diperolehnya merupakan suatu prestise dan kebanggaan tersendiri karena
dihasilkan melalui kerja keras dan ketekunan selama bertahun-tahun.
Sayangnya jika tradisi seperti ini juga berlaku untuk penerima gelar
palsu (gelar belian) maka esensi suatu gelar yang seharusnya lebih
mengutamakan bobot ilmu dan karakter pribadi yang dimiliki oleh sang
pemegang gelar tersebut, daripada sekedar ijazah atau nama gelar yang
mentereng, menjadi luntur.
Mutu Pendidikan Nasional
Masyarakat sudah sangat paham
dengan mutu pendidikan di negeri ini. Posisi SDM dan peringkat perguruan
tinggi kita merosot amat rendah dibanding dengan negara-negara tetangga
seperti Singapura maupun Malaysia. Oleh karena itu, bagi orang-orang
berkantong tebal dan berpikir praktis mungkin akan timbul pemikiran
untuk apa capek-capek meraih kesarjanaan formal yang hasilnya juga tidak
membuat "lebih pintar", tidak siap kerja, lama selesainya, dan biaya
yang dikeluarkan pun tidak jauh berbeda dengan "sarjana yang dibeli".
Orang-orang seperti inilah yang kemudian tanpa ragu dan malu, memejeng
gelar palsu. Hal ini bisa terjadi karena masyakarat terkadang sulit
membedakan mutu antara gelar sarjana sungguhan dengan gelar sarjana
belian.
Tuntutan Dunia Kerja
Tuntutan dunia kerja yang lebih
menggantungkan penilaian pada sertifikat, ijazah dan gelar juga semakin
menguatkan pendapat bahwa ijazah dan gelar merupakan jaminan kesuksesan
dalam berkarir. Tidaklah menjadi rahasia lagi bahwa di
Instansi-instansi tertentu, ijazah dan gelar adalah modal utama untuk
kenaikan pangkat dan penghargaan (terlepas dari apakah itu gelar formal
atau palsu) dibandingkan dengan performa kerja pegawai. Oleh karena itu
jangan heran jika para pejabat di instansi tersebut tiba-tiba
beramai-ramai mengikuti program S2 atau S3 kelas jauh dari universitas
tertentu dalam rangka untuk mendapat promosi jabatan.
Kepribadian Sang Individu
Adanya gangguan kepribadian tertentu yang dialami
seseorang dapat menyebabkan individu tersebut tidak merasakan adanya
suatu yang salah dengan perilaku membeli gelar. Bagi mereka hal ini
merupakan suatu kesempatan untuk meraih impian yang diinginkanya dengan
cara tercepat dan termudah.
Kepribadian Narsisistik
Jika
kita bertanya pada masing-masing individu maka saya yakin sebagian
besar akan menjawab bahwa gelar "tidak bisa dibeli dengan uang". Gelar
hanya dapat dibeli dengan ketekunan, kerja keras, kejujuran akademik,
kematangan berpikir, kedewasaan, sikap pantang menyerah, berkutat dengan
teori dan data, persisten, dan tidak ada jalan pintas. Tak ada gelar
yang ditawarkan begitu saja. Proses seleksinya sangat ketat, bukan masuk
tanpa test dan cukup mengisi formulir saja. Teman-teman yang telah
melalui proses ini pasti merasakan betapa sulitnya menuntut ilmu dan
memperoleh gelar akademik.
Meski semua orang tahu bahwa gelar
merupakan suatu yang membanggakan dan lambang status sosial, namun
banyak juga individu yang justru tidak mau tahu dengan gelar yang
diperolehnya. Bagi individu semacam ini gelar atau ijazah tidak lebih
dari sebatas tanda penghargaan dan pengakuan atas jasa atau hasil jerih
payahnya selama menuntut ilmu sebagai persyaratan memperoleh gelar
tersebut. Individu-individu seperti ini tidak silau dengan gelar, bahkan
sedapat mungkin mereka tidak akan mencantumkan gelar di depan atau
dibelakang namanya. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh
merupakan segala-galanya. Oleh karena itu mereka lebih banyak
memperlihatkan karya nyata di bidang keilmuannya dengan cara memberikan
pemikiran-pemikiran baru dan berusaha membantu orang lain sesuai dengan
kompetensinya daripada menonjolkan gelar tersebut.
Individu yang tidak silau dengan gelar
seperti yang telah saya sebut diatas amat berbeda karakternya dengan
mereka yang menganggap bahwa gelar adalah segala-galanya. Bagi individu
seperti ini ijazah dan gelar adalah modal hidup sehingga harus diperoleh
(apapun caranya) dan jika sudah didapat maka harus diketahui oleh semua
orang. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak lagi merupakan
suatu hal yang penting. Individu-individu jenis inilah yang dengan
bangga memasang iklan-iklan ucapan selamat dengan space dan
tulisan besar di koran-koran. Lucunya ucapan selamat tersebut seringkali
justru datang dari dirinya sendiri. Artinya ucapan selamat tersebut
jika ditelusuri lebih lanjut ternyata dikirim oleh perusahaan-perusahaan
miliknya atau sanak keluarganya sendiri.
Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri
si pembeli gelar yang tanpa malu dan canggung memamerkan gelar atau
ijazah tersebut di depan orang lain. Apakah mereka mengalami gangguan
kepribadian? Menurut pandangan saya, jika pembelian gelar tersebut
dilakukan secara sadar dengan pertimbangan matang demi memenuhi
ambisi-ambisi pribadi dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat
(terutama bagi para pemegang gelar asli) maka sudah tentu dapat
dikatakan bahwa individu tersebut memang mengalami gangguan kepribadian.
Namun demikian jika individu dipengaruhi oleh cara-cara yang tidak
profesional atau dibohongi oleh para penyelenggara program gelar palsu
maka tentu tidak adil jika dikatakan bahwa individu pembeli gelar
tersebut mengalami gangguan kepribadian.
Untuk membedakan antara individu
pembeli gelar karena dibohongi oleh pihak ketiga dengan individu yang
dengan sadar memang ingin menempuh jalan pintas untuk memperoleh gelar
demi ambisi pribadi dan mengabaikan rasa keadilan, maka saya mengajak
pembaca untuk melihat salah satu karakteristik gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah Gangguan Kepribadian
Narsisistik atau Narcissistic Personality Disorder. Gangguan
kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa
dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat
eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh
dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan
orang lain (DSM-IV). Perasaan-perasaan tersebut mendorong mereka untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun juga.
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - Fourth Edition)
individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik
jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri
kepribadian sebagai berikut:
- Merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki (has a grandiose sense of self-important). Ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda.
- Percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik (believe that she or he is special and unique).
- Dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati (is preoccupied with fantasies of unlimited success, power, briliance, beauty, or ideal love).
- Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi (requires excessive admiration).
- Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa (has a sense of entitlement).
- Kurang empathy (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with the feelings and needs of others).
- Mengeksploitasi hubungan interpersonal (is interpersonally exploitative).
- Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya (is often envious of others or believes that others are envious of him or her).
- Angkuh (shows arrogant, haughty behavior or attitudes).
Meskipun mungkin tidak semua
ciri tersebut diatas dimiliki oleh para pembeli gelar namun setidaknya
beberapa ciri sudah cukup menunjang adanya gangguan kepribadian
tersebut. Untuk lebih jelasnya maka saya mencoba memberikan beberapa
ciri kepribadian yang biasanya dimiliki oleh individu-individu yang
seringkali mengambil jalan pintas untuk memperoleh apa yang
diinginkannya, termasuk gelar, sebagai berikut:
Merasa Diri Paling Hebat
Jika seseorang merasa dirinya
paling hebat/penting (bedakan dengan orang yang benar-benar
hebat/penting) maka ia tidak akan malu-malu untuk memamerkan apa saja
yang bisa memperkuat citranya tersebut. Selain itu untuk mendukung citra
/ image yang dibentuknya sendiri, individu rela menggunakan segala
cara. Oleh karena itu ketika orang tersebut berhasil memperoleh gelar
(tanpa mempedulikan bagaimana cara memperolehnya) maka ia tidak akan
segan atau malu-malau untuk memamerkannya kepada orang lain. Bagi mereka
hal ini sangat penting agar orang lain tahu bahwa ia memang orang yang
hebat. Tidak heran cara-cara seperti mengirimkan ucapan selamat atas
gelar yang diperoleh secara instant (dibeli) di koran-koran oleh "diri
sendiri" dianggap bukan suatu hal yang aneh.
Fantasi Kesuksesan & Kepintaran
Pintar dan sukses adalah impian
setiap orang. Meski demikian hanya sedikit orang yang bisa mewujudkan
impian tersebut. Pada individu pembeli gelar sangatlah mungkin mereka
menganggap bahwa kesuksesan yang telah mereka capai (cth: punya jabatan)
belum cukup jika tidak diikuti dengan gelar akademik yang seringkali
dianggap sebagai simbol "kepintaran" seseorang. Sayangnya untuk mencapai
hal ini mereka seringkali tidak memiliki modal dasar yang cukup karena
adanya berbagai keterbatasan seperti tidak punya latarbelakang
pendidikan yang sesuai, tidak memiliki kemampuan intelektual yang bagus
atau tidak memiliki waktu untuk sekolah lagi. Hal ini membuat mereka
memilih jalan pintas dengan cara membeli gelar sehingga terlihat bahwa
dirinya telah memiliki kesuksesan dan kepintaran (kenyataannya hal
tersebut hanyalah fantasi karena gelar seharusnya diimbangi dengan ilmu
yang dimiliki).
Sangat Ingin dikagumi
Pada umumnya para pembeli gelar
adalah para individu yang sangat terobsesi untuk dikagumi oleh orang
lain. Oleh karena itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan
"simbol-simbol" yang dianggap menjadi sumber kekaguman, termasuk gelar
akademik. Obsesi untuk memperoleh kekaguman ini sayangnya seringkali
tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi) diri sang individu tersebut
(cth: tidak memenuhi syarat jika harus mengikuti program pendidikan
yang sesungguhnya). Akhirnya dipilihlah jalan pintas demi mendapatkan
simbol kekaguman tersebut.
Kurang Empathy
Para pembeli gelar pastilah
bukan orang yang memiliki empati, sebab jika mereka memilikinya maka
mereka pasti tahu bagaimana perasaan para pemegang gelar asli yang
memperoleh gelar tersebut dengan penuh perjuangan. Jika mereka memiliki
empati pastilah mereka dapat merasakan betapa sakit hati para pemagang
gelar sungguhan karena kerja keras mereka bertahun-tahun disamakan
dengan orang yang hanya bermodal uang puluhan juta rupiah.
Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan
Setiap individu yang mengalami
gangguan kepribadian narsissistik merasa bahwa dirinya berhak untuk
mendapatkan keistimewaan. Karena merasa dirinya istimewa maka dia tidak
merasa bahwa untuk memperoleh sesuatu dia harus bersusah payah seperti
orang lain. Oleh karena itu mereka tidak merasa risih atau pun malu jika
membeli gelar karena bagi mereka hal itu merupakan suatu keistimewaan
yang layak mereka dapatkan.
Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik
Pada umumnya para penyandang
gelar palsu sangat marah dan benci pada orang-orang yang mempertanyakan
hal-hal yang menyangkut gelar mereka. Bagi mereka, orang-orang yang
bertanya tentang hal itu dianggap sebagai orang-orang yang iri atas
keberhasilan mereka. Jadi tidaklah mengherankan jika anda bertanya pada
seseorang yang membeli gelar tentang ilmu atau tesis atau desertasinya
maka ia akan balik bertanya bahkan menyerang anda sehingga permasalahan
yang ditanyakan tidak pernah akan terjawab. Bahkan mereka akan
menghindari pembicaraan yang menyangkut hal-hal akademik.
Kepercayaan Diri yang Semu
Jika dilihat lebih jauh maka rata-rata individu yang
mengambil jalan pintas dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan
seringkali disebabkan karena rasa percaya dirinya yang semu. Di depan
orang lain mereka tampak tampil penuh percaya diri namun ketika
dihadapkan pada persoalan yang sesungguhnya mereka justru menarik diri
karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki modal dasar yang kuat. Para
individu yang membeli gelar umumnya adalah mereka yang takut bersaing
dengan para mahasiswa biasa. Mereka kurang percaya diri karena merasa
bahwa dirinya tidak mampu, tidak memenuhi persyaratan dan takut gagal.
Daripada mengikuti prosedur resmi dengan risiko kegagalan yang cukup
tinggi (hal ini sangat ditakutkan oleh para individu narsisistik) maka
lebih baik memilih jalan pintas yang sudah pasti hasilnya.
Tindakan
Dengan
mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin timbul di masa mendatang
sebagai akibat maraknya jual beli gelar, maka perlu diadakan
tindakan-tindakan nyata agar negara ini tidak kebanjiran gelar yang
hebat-hebat padahal isinya kosong. Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan diantaranya adalah:
Individu
Segala keputusan dan tindakan
yang akan dilakukan oleh individu sebenarnya lebih banyak ditentukan
oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu individu hendaknya menyadari
bahwa tidak ada jalan pintas untuk mencapai gelar kesarjanaan. Semua itu
harus dicapai melalui tahapan-tahapan tertentu yang panjang. Jika anda
memang tidak memiliki kapasitas sebagai seseorang yang layak untuk
menyandang suatu gelar akademik (karena tidak pernah melalui tahapan
yang dipersyaratkan) maka hendaklah tidak menipu diri dengan cara
membeli gelar. Jika itu anda lakukan secara sadar maka hal tersebut
adalah ibarat anda berjalan dengan menggunakan jubah raja yang
kebesaran. Anda mungkin merasa diri hebat karena memakai jubah yang
mahal dan bagus meskipun kedodoran. Tetapi jangan lupa bahwa orang lain
pasti tahu bahwa jubah itu bukan untuk anda. Seandainya pun ada rekan
atau relasi yang memuji atau menyanjung anda ketika menggunakan jubah
tersebut, saya yakin bahwa orang tersebut tidak lebih dari seorang
penjilat atau hanya mau berbasa-basi untuk menyenangkan anda. Inikah
yang anda inginkan? Jika tidak maka raihlah gelar dengan cara-cara yang
seharusnya.
Masyarakat
Masyarakat Indonesia memiliki
peran penting terhadap maraknya jual beli gelar. Dalam hal ini
masyarakat dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori:
-
Akademik. Masyarakat akademik dapat mempelopori pemberantasan gelar palsu dengan cara meningkatkan mutu pendidikan (ilmu pengetahuan & pembentukan kepribadian) dan tidak semata-mata berorientasi pada materi. Hal ini mengimplikasikan bahwa para pendidik yang ada di perguruan tinggi benar-benar mereka yang telah diseleksi secara ketat dan memenuhi syarat sebagai pendidik. Selain itu Pembukaan program-program S2 & S3 kelas jauh hendaknya dipertimbakan secara cermat, bukan semata-mata demi kepentingan mengejar pendapatan.
-
Media Massa. Media massa dapat membantu upaya pemberantasan jual beli gelar dengan cara menolak menerbitkan iklan-iklan jual beli gelar yang dipasang oleh lembaga penjaja gelar palsu.
-
Perusahaan. Dalam dunia kerja atau industri cara-cara pemberantasan gelar palsu adalah dengan tidak mengutamakan ijazah & gelar sebagai dasar kenaikan pangkat atau pun penghargaan, tetapi lebih kepada kompetensi yang dimiliki dan kinerja. Selain itu ijazah atau pun gelar yang diperoleh hendaknya diperiksa dengan ketat sehingga gelar palsu tidak disamakan dengan gelar sungguhan. Tidak mempekerjakan karyawan yang membeli gelar atau memperoleh gelar secara instant merupakan langkah jitu yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah "diploma diseases".
-
Umum. Masyarakat umum dapat berperan dalam pemberantasan gelar palsu dengan cara tidak mempromosikan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada teman-teman atau pun keluarga, tidak memamerkan gelar yang diperoleh oleh anggota keluarga atau sanak saudara secara berlebihan seperti memasang ucapan selamat secara besar-besaran di surat kabar, melaporkan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada pihak berwenang, dll.
Pemerintah
Pemerintah
dapat secara aktif melakukan tindan-tindakan baik preventif maupun
kuratif untuk mencegah maraknya jual beli gelar palsu. Cara-cara yang
dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:
-
Pembuatan kurikulum pendidikan nasional yang lebih seimbang antara pembentukan karakter individu dan ilmu dan pengetahuan. Selain itu rencana strategi pendidikan hendaknya lebih berorientasi pada pengisian lapangan kerja daripada hanya berhenti sampai mendapat ijazah atau gelar saja. Dengan demikian maka setiap individu yang berhasil memperoleh gelar akan mendapatkan ilmu dan ketrampilan untuk bekerja di bidangnya. Dengan demikian masyarakat pasti akan dapat membedakan dan menghargai gelar yang diperoleh seseorang sehingga gelar palsu mungkin tidak laku lagi.
-
Menindak tegas penyelenggara-penyelenggara program S1 (sarjana), S2 (magister) dan S3 (doktor) yang menyimpang dari prosedur yang sebenarnya; seperti ketentuan jumlah SKS, tempat perkuliahan, proses belajar mengajar, dll.
-
Menghentikan praktek-praktek jual beli gelar yang diselenggarakan melalui studi jarak jauh yang banyak terjadi di kota-kota kabupaten maupun ibukota provinsi di Indonesia.
-
Menolak gelar-gelar yang diperoleh secara tidak pantas untuk keperluan kenaikan pangkat atau penghargaan di instansi-instansi pemerintah, sehingga para pejabat tidak berlomba-loma "mengambil" gelar.
Seandainya
hal-hal tersebut diatas dapat kita laksanakan maka niscaya praktek jual
beli gelar ini akan dapat dikurangi. Jika tidak maka bisa-bisa lembaga
pendidikan formal kita dipenuhi oleh lembaga-lembaga penjual gelar dan
setiap orang dapat memiliki gelar secara cepat. Jika sampai demikian
yang terjadi, lalu apa artinya gelar itu.
http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar