SUKU DAYAK
Suku Dayak
adalah Suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok dan tinggal di daerah
pedalaman seperti di gunung dan sebagainya, salah satu kelompok
asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya
diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang Dayak
sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak
negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti
seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak mengenal menyerah
atau pantang mundur.
- Awal Terbentuknya Dayak
Pada tahun
1977-1978 saat itu benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara
yang menyatu yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan
dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang
sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka
datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi
kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai
hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini
terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku
berbeda.
Tidak
hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di
kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa
datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan
bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian
suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal
abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya
singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan
Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto
kertodipoero,1963).
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau
kalimantan. Kelompok suku dayak terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang
lebih jumlahnya 405. Masing-masing sub suku dayak di pulau kalimantan mempunyai
adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya.
Kata dayak beasal dari kata “Daya” yang artinya
hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan
kalimantan umumnya dan kalimantan barat khususnya (walaupun kini banyak
masyarakat dayak yang telah bermukim di kota atau provinsi), mempunyai
kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya. Suku
dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendalami
pulau kalimantan.
Suku Dayak
pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin
Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang
Melayu (sekitar tahun 1608).
Masyarakat dayak sangat tertarik ketika bersentuhan
dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena
sering terjadinya proses transaksi jual-beli barang kebutuhan, dan interaksi
kebudayaan, menyebabkan pesisir kalimantan barat menjadi ramai dikunjungi
pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.
- Sistem Religi Suku Dayak
Sistem religi suku dayak pun mulai terpengaruh dan
dipengaruhi oleh para pedagang yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan, dan
agama islam dari luar pulau kalimantan. Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi
mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang
Melayu atau orang Banjar.
Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit,
Labuan Lawas dan Watang Balangan.
1.
Sistem Religi Suku Dayak di
Kalimantan Tengah
Sejak awal kehidupannya, orang Dayak telah memiliki
keyakinan yang asli milik mereka, yaitu Kaharingan atau Agama Helo/helu/.
Keyakinan tersebut, menjadi dasar adat istiadat dan budaya mereka. Agama
Helo/helu/ atau Kaharingan hingga saat ini masih dianut oleh sebagian besar
orang Dayak, walau pada kenyataannya, tidak sedikit orang Dayak yang telah
menganut agama Islam, Kristen, Katholik. Demikian pula tidak semua penduduk
pedalaman Kalimantan adalah orang Dayak, karena telah berbaur dengan penduduk
dari berbagai suku akibat perkawinan dan berbagai sebab lain. Walaupun
demikian, tradisi lama dalam hidup keseharian mereka masih melekat erat tidak
hanya dalam bahasa, gerak-gerik, symbol, ritus, serta gaya hidup, namun juga
dalam sistem nilai pengartian dan pandangan mereka dalam memaknai kehidupan.
2. Sistem
religi suku dayak di Kalimantan Barat
Mayoritas penduduk Kalimantan Barat memeluk agama
Islam (35%), Katolik (28%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%),
lain-lain (1,7%). Masyarakat Dayak memiliki keyakinan tentang wujud tertinggi
dimana segala kekuatan yang ada di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud
tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan roh leluhur. Dewa dan roh
halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat tertentu dalam
dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut, orang Dayak senantiasa
melakukan hubungan religius dengan Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang
banyak memberikan pertolongan dalam kehidupan mereka. Sistem kepercayaan atau
agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai kehidupan mereka.
Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau
iblis yang disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang
jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup. Hantu
semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan manusia, maka untuk
menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya dengan
berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur),
minuman, daging babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.
Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn saat ini
memeluk agama Katolik dan Protestan. Sejak tahun 1835 agama Kristen Protestan
masuk ke Kalimantan, yaitu di Tangguhan dekat Mandumai, Kalimantan Tengah.
Agama ini disebarkan oleh seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama
Barnstein ke masyarakat Dayak.
- Bahasa Suku Dayak
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum
dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu bahasa penghubung yaitu
bahasa Melayu Pontianak, Melayu Sambas dan Bahasa Senganan menurut wilayah
penyebarannya, Demikian juga terdapat beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut
penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku
Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Dialek yang di
masksudkan terhadap bahasa suku Dayak ini adalah begitu banyaknya kemiripannya
dengan bahasa Melayu, hanya kebanyakan berbeda di ujung kata seperti makan
(Melayu), makatn (Kanayatn), makai (Iban), makot (Melahui).
Khusus untuk rumpun Uut Danum, bahasanya boleh
dikatakan berdiri sendiri dan bukan merupakan dialek dari kelompok Dayak
lainnya. Dialeknya justru ada pada beberapa sub suku Dayak Uut Danum sendiri.
Seperti pada bahasa sub suku Dohoi misalnya, untuk mengatakan makan saja
terdiri dari minimal 16 kosa kata, mulai dari yang paling halus sampai ke yang
paling kasar. Misalnya saja ngolasut (sedang halus), kuman (umum), dekak (untuk
yang lebih tua atau dihormati), ngonahuk (kasar), monirak (paling kasar) dan
Macuh (untuk arwah orang mati). Bahasa Melayu di kalbar terdiri atas beberapa
jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa
Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang sama dengan bahas Melayu Malaysia
dan Melayu Riau.
- Adat Istiadat Suku Dayak
Ada
beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang
masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak
berasal dari pedalaman Kalimantan.
1. Upacara
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat
suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang
orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat
yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak
sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah
mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali
acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya
tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
2. Dunia
Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak
memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena
supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan
manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
3.
Mangkok merah
Mangkok merah merupakan media
persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima
biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di
edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya
biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar
biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari
apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk
mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu
roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh
para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati
korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah
orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk
keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis
akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras
bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk
bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan
lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam
merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan
bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk
tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok
merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi
ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi
lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan
Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama
yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek
kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa
asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke
dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan
ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit,
sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
- Mata Pencaharian Suku Dayak
Kalimantan memiliki landasan tanah
yang terdiri dari karang padas, dan lapisan tanah humus yang tipis, sedang
daratannya berupa hutan. Dengan penduduk yang tidak begitu padat. Berladang
menjadi salah satu pilihan mata pencaharian masyarakat suku Dayak. Pekerjaan
ini membutuhkan banyak tenaga. Sehingga pengerjaannya dilakukan oleh kelompok
yang biasanya berdasarkan hubungan tetangga atau kekerabatan. Jadi bisa
dibilang sistim mata pencaharian ini berhubungan juga dengan kehidupan sosial
diantara anggota suku. Dalam berladang, diperhatikan pula tanda-tanda alam
alam, yang salah satunya dengan cara memperhatikan hewan liar.
Perhatian terhadap tanda-tanda alam
ini salah satunya adalah terkait dengan waktu yang tepat untuk membuka lahan,
atau mengolahnya, disesuaikan dengan musim yang menentukan curah hujan. Tanaman
yang ditanam rupanya sesuai dengan kebutuhan. Diantaranya adalah padi enam
bulanan, padi empat bulanan, dan padi ketan yang merupakan kebutuhan dalam
upacara adat. Salah satu upacara adat yang dilakukan adalah pada saat buka
lahan. Tujuannya untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan mengusahakan
hasil bumi yang berlimpah. Selain itu ditanam juga ubi kayu yang bukan hanya
dikonsumsi ubinya, tapi juga daunnya untuk lauk pauk.
Satu lagi yang sangat penting adalah
pohon pinang, karena masyarakatnya baik perempuan maupun laki-laki gemar makan
sirih dan pinang. Setelah tanah lahan tidak lagi baik, lahan ditinggalkan dengan
menanam pohon karet untuk diambil manfaatnya kelak. Selain berladang, terutama
pada saat menunggu waktu membuka lahan, suku Dayak melakukan pekerjaan lain.
Diantaranya adalah berburu, mencari hasil hutan, dan mencari ikan di sungai.
Hasil pekerjaan yang dikenal masyarakat luar suku adalah barang-barang hasil
anyaman.
- Proses Penguburan Suku Dayak
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga
budaya penguburan di Kalimantan :
·
penguburan
tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·
penguburan
di dalam peti batu (dolmen)
·
penguburan
dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem
penguburan yang terakhir berkembang.
2. wadah tulang-beluang :
tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
1. lubekng (tempat lungun)
2. garai (tempat lungun, selokng)
3. gur (lungun)
4. tempelaaq dan kererekng
Pada
umumnya terdapat dua tahapan penguburan :
1.
Penguburan primer
2. Penguburan sekunder
Penguburan
sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai
kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan
terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di
atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan
sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu
tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan
sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam
satu wadah.
3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
a. Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
Setelah seseorang dari suku Dayak
Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai
pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu
penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam,
beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke
dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon
khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan
beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai
tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini
dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal
dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi
mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya
dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan
lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul
menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku,
ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi
satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu
yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur
dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat
dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang
istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang,
pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi
pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua
keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan
bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat
dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan
dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si
mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan,
tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai
tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu
sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si
mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei
telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati
selagi berada di dunia fana.
- Seni Tari Suku Dayak
1.
Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan
orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta
biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup
terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal
oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari
Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2.
Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang
seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini
sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian
tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti
mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku
dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3.
Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay
menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari
Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi
yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang
wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua
tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini
ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari
burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap
sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian
tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari
Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung
Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok
atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada
gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di
dahan pohon.
5. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang
gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya
dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam
hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian
lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan
menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun
pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat
hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang.
Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama
perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang
banyak.
7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini
pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni
untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih
pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok
anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya
dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang
dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah
manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua
jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang
berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini
dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing
gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai
(sejenis seruling bambu).a kita memanfaatkan dan mengelolanya.
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk
menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya.
Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara
penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak
Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan
tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan
suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke
daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama
gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang.
Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak
Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan
kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke
segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat
dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan
alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi
mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara
belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar.
Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak
Benuaq.
- Alat Musik Suku Dayak
1.
Gong / Agukng, Kollatung (Uut Danum)
Merupakan
alat musik pukul yang terbuat dari kuningan, merupakan alat musik yang
multifungsi baik sebagai mas kawin, sebagai dudukan simbol semangat dalam
pernikahan. maupun sebagai bahan pembayaran dalam hukum adat.
2.
Tawaq ( sejemis Kempul )
Merupakan
alat musik untuk mengiringi tarian tradisional masyarakat Dayak secara umum.
Bahasa Dayak Uut Danum menyebutnya Kotavak.
3.
Sapek
Merupakan
alat musik petik tradisional dari Kapuas hulu dikalangan masyarakat Dayak
Kayaan Mendalam kabupaten Kapuas hulu. Pada masyarakat Uut Danum menyebutnya
Konyahpik (bentuknya) agak berbeda sedikit dengan Sapek.
4.
Balikan / Kurating
Merupakan
alat musik petik sejenis Sapek, berasal dari Kapuas Hulu pada masyarakat Dayak
Ibanik, Dayak Banuaka”.
5.
Kangkuang
Merupakan
alat musik pukul yang terbuat dari kayu dan berukir, terdapat pada masyarakat
Dayak Banuaka Kapuas Hulu.
6.
Keledik / kedire
Merupakan
alat musik terbuat dari labu dan bilah bambu di mainkan dengan cara ditiup dan
dihisap. terdapat di daerah Kapuas Hulu. Pada suku Dayak Uut Danum di sebut
Korondek.
7.
Entebong
Merupakan
alat musik Pukul sejenis Gendang, yang banyak terdapat di kelompok Dayak
Mualang di daerah Kabupaten Sekadau.
8.
Rabab (rebab)
Alat
musik gesek, terdapat pada suku Dayak Uut Danum. Kohotong, yaitu alat musik
tiup, terbuat dari dahan semacam pelepah tanaman liar di hutan seperti pohon
enau. Sollokanong (beberapa suku Dayak lain menyebutnya Klenang) terbuat dari
kuningan, bentuknya lebih kecil dari gong, penggunaannya harus satu set.
9.
Terah Umat (pada Dayak Uut Danum)
alat
musik ketuk seperti pada gamelan Jawa. Alat ini terbuat dari besi (umat) maka
di sebut Terah Umat.
- Senjata Suku Dayak
Merupakan senjata utama suku dayak.
Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya
berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak
sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang
diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep
adalah tempat anak sumpitan.
Dibuat dari besi dan dipasang atau
diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
Terbuat dari kayu ringan, tetapi
liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi
ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai
tempat pegangan.
4. Mandau
Merupakan senjata utama dan
merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan
selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa.
Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan
dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang
disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang
mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan
yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu
yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong
Senjata ini semacam keris tetapi lebih
besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya
dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang,
Basir.
- Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
1.
Mengirim
tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan
perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
2.
Mengirim
sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang
ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3.
Mengirim
seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4.
Mengirim
tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan
sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5.
Mengirim
Abu, berarti ada rumah terbakar.
6.
Mengirim
air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap
lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada
saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak
disebutkan.
7.
Mengirim
cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah
tua meninggal dunia.
8.
Mengirim
telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan
tajau.
9.
Daun
sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan
bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan
seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan
digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada
dipohon itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar